Beberapa Tikungan Lagi ke BukittinggiHattaWarih WisatsanaSepanjang jalan pulang, seperti Binuang mudaYang sendiri, aku ingin kekalMenjadi kanak-kanak nakal, jauh dari sesalIngat lagu Mande, bisikmu. Bandar-bandar tuaSekociku oleng dihantam angin sakalKaram di teluk terkucilIngat, Leninggrad, pagar kawat khianatBadai salju berakhir. Aku berbaris, cemasMantel kumalku kelabu meniru abu pada tungkuAku berbaris, memanggul bedil ke perbatasanLunglai bagai buah arbai, berjatuhan di jalanBergulingan diseret angin dingin dari selatanBernyanyi lirih serupa kanak duluDengan senapan kayuMengintai lawan di sebalik perdu:Owai, sepanjang jalan pulang, pucuk-pucuk cubadakBuah-buah jatuh tanpa keluh, membusuk jadi rabukJadi bunga tanjung yang harumnya melintasi gunung!Kawan S tak dikenal, menitipkan selipat surat dan seberkasidentitas. Patriot setengah hati yang akhirnya mati tercekikransel sendiri Pelarian kaum partisan diringkus dini hariDiseret sekarat dan dieksekusi tanpa diadili Jadi arang hutanlindung Jadi puing benteng terkepung Tertulis di dahi simati, manifesto terakhir Perang besar tak akan mungkin lagiberakhir Owai, payang kakek lapuk terbujuk ombak Dipesisir pasir berbutir menghitung umur Diseret air lalu sia-Sia berhenti mengalir Digemakan genta kecil dari jauh, keluhBinuang pada pedati; Beberapa tikungan lagi sampai ketujuan? Letih oleh api revolusi, singgah di dangau petang hariMungkin Tan Malaka, kini juga diriku,berulangkali Melamunkan jalan pintas ke kampung halamanOwai, pulanglah, buyung, pulanglah. Burung pipit SunyiBunuh diri, jemu meniru nyanyi bansi si mati Di surau,adakah tanjung tangismu lagi untuk ibu
Tuesday, May 13, 2014
Puisi Beberapa Tikungan Lagi ke Bukittinggi | Warih Wisatsana
Tuesday, May 13, 2014 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment