Penagih UtangJoko PinurboPenagih utang itu datang tengah malam.Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan,baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoranuntuk tubuhnya yang kurus dan kusam.“Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak.Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnyayang longgar seakan bergeser dari letaknya.“Maaf, kalau tidak salah ini sudah jadwalnya.”“Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedangbanyak keperluan. Bapak lihat sendiri brankas sayasedang ludas, kolam renang belum selesai saya perbaiki,toilet baru akan saya lapisi emas, isteri belum sempatsaya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!”Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi.Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisikdi telingaku: “Tidak bikin keranda emas sekalian Pak?”“Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat.Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggalaku selalu melihat penagih utang itu menyelinapdi tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum,namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya.Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan,dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana.Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnyamati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emasyang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya.Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampilmenyampaikan kata-kata belasungkawa.Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakanbahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapatmenebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirinuntuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya,syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya.2001
Tuesday, January 28, 2014
Puisi Penagih Utang | Joko Pinurbo
Tuesday, January 28, 2014 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment