Kota AirZen Haekematian hanyalah kunci pembuka sebuah kota: orang bersisik cahaya, rumah siput,pepucuk ganggang yang menyala.menyanyikan nada hoplaaku memasukinyasetelah kautenggelamkan tubuhku ke dasar danausetelah laskar api menyergap kota tuadengan tujuh kata sandi“seguci benih dendam, berpijar ladang arwah, bakar!”bandar sawan, tetiang hujan gemetaran, kota sehitamarang asam, malam sekaku tunggul jamblang“yang paling dalam memeram siksa badanakan meradanglebih nyaring dari jerit tujuh kelenteng”“jangan meracau sebentar lagi tubuhmu akan lumersuaramu akan semberdan danau dan surau hanya kubur sunyipara pengigau”kukenakan tubuhku yang baruagar kau tak mengenaliku: sili yang lolos dari bubudi rong tujuh tangan aku berkhalwatmeniru nabi di gua hiramemindai telur raja ikan, yang tampak sosok kenang: kau berteriak bagai seekor pungguk mabuk“sebentar lagi darah kami akan hitamdan kami akan menguasai malam”kaupaksa tubuhku jadi malamdan butir keringatku jadi bintanglalu seorang cenayang pincang membacakanayat nujumanmenyajikan seloyang batu api setandan kata makisejembung ganas berahi semangkuk cemas peridi atas altar sembahyang“tapi aku tak memesan semua kekerasan initapi aku tidak menggelapkan hatimudan mewahyukan pembantaianaku bukan…”ohoi, para pembenci dunia, berhentilah sejenakmerapat di puncak khalwat. nikmati musik: jerit bulan sabit erang bintang meriang nyawa meregangdi antara amuk api dan lontar batuorang bersisik menari meliuk berputarmelompat menerjanghingga tubuh mereka letihdan di ufuk berpijar sembilan bintang pagi“ahai, putri jangkung, jangan murungdi sini perang hanya tarian, kekerasan hanya kenanganmari merapat – untukmu satu kecupan”akhirnya kudiami sebuah kotaduapuluh lima depa di bawah peta tua: orang bersisik letih, rumah siputpepucuk ganggang yang membiru“kami orang usiran. kami tak punya dendam”2001
Monday, December 9, 2013
Puisi Kota Air | Zen Hae
Monday, December 09, 2013 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment