Perjalanan 70 Tahun Sapardi Djoko Damono
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sapardi Djoko Damono – lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 – adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.
Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.
Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:
Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.
“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.
Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.
Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.
Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”
Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.
Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.
Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).
Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.
Nurdin Kalim/PDAT
Karya-Karya Sapardi Djoko Damono:
Kumpulan Puisi/Prosa:
Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G. Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia.
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada 1987, saat beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Tujuannya , untuk mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.
Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Dalam perjalanannya, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Setelah itu lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990), yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo – Ari Malibu dan sejumlah penyanyi lain yang memiankannya. Album Hujan Dalam Komposisi menyusul dirilis pada 1996.
Karena banyaknya permintaan, pada 2006 dirilis Album Gadis Kecil. Album itu diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana. Setahun kemudian dirilis album musikalisasi puisi Becoming Dew oleh duet Reda – Ari Malibu.
Pada Tahun Baru 2008, pianis Ananda Sukarlan menggelar konser kantata Ars Amatoria, yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi serta karya beberapa penyair lain.
Buku
Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.
Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.
Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).
Politik ideologi dan sastra hibrida (1999).
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
Nurdin Kalim/Pelbagai Sumber
0 komentar:
Post a Comment