Surat Kahlil Gibran kepada Jamil Malouf
Jamil Malouf, seorang penyair dan pengarang muda Libanon, sangat mengagumi Gibran. Dalam suratnya berikut ini, Gibran mengungkapkan kekagumannya dan keprihatinannya kepada penyair muda itu, yang meninggalkan Paris untuk tinggal di Sao Paulo, Brazilia. Gibran melukiskan sahabatnya Jamil ini sebagai "obor dari langit" yang menerangi jalan umat manusia, dan juga menyatakan keheranannya mendengar kepindahan sahabatnya itu. Dia mendesaknya agar memberikan alasan yang mendorongnya pergi ke Sao Paulo dan tinggal di antara "orang-orang mati yang hidup".
Dari Gibran kepada Jamil Malouf
1908
Saudaraku Jamil,
Ketika aku membaca surat-suratmu, aku merasa ada roh yang mempesona sedang bergerak-gerak dalam kamar ini -roh yang indah namun penuh kesedihan- yang menarikku dengan alunan gelombangnya dan membuatku melihatmu sebagai dua pribadi: yang satu menunggui kemanusiaan dengan sayapnya yang perkasa sama seperti sayap bidadari yang dilihat oleh Santo Johannes sedang berdiri di depan singgasana dengan tujuh lampu; yang lain terbelenggu pada sebuah batu karang raksasa laksana Promotheus, yang karena hendak memberikan obor api pertama kepada manusia merelakan dirinya dikutuk oleh dewa-dewa. Yang pertama menceriakan hatiku dan menyejukkan jiwaku karena ia berayun-ayun bersama cahaya matahari dan angin lembut yang ceria fajar pagi; sementara yang kedua membuat hatiku berdukacita karena ia terpenjara oleh perjalanan sang waktu...
Engkau telah dan masih akan senantiasa mampu menurunkan obor api itu dari langit untuk menerangi jalan umat manusia, tapi katakanlah padaku hukum atau kekuatan apakah yang membawamu ke Sao Paulo dan membelenggu tubuhmu dan menempatkan dirimu di antara orang-orang yang mati pada hari kelahirannya dan belum juga dikuburkan itu? Masihkah dewa-dewa Yunani menunjukkan kekuasaannya sekarang ini?
Aku telah mendengar engkau hendak kembali ke Paris dan tinggal di sana. Aku pun ingin pergi ke sana. Mungkinkah kita bertemu di kota seni itu? Apakah kita bertemu di "Jantung Dunia" itu dan mengunjungi Opera dan teater Prancis dan memperbincangkan sandiwara-sandiwara Racine, Corneille, Moliere, Hugo dan Sardon? Akankah kita bertemu di sana dan berjalan jalan bersama ke tempat benteng Bastille dibangun, dan kemudian kembali ke tempat tinggal kita untuk merasakan kelembutan jiwa Rousseau dan Voltair, dan menulis tentang Kebebasan dan Tirani, dan menghancurkan setiap "Bastille" yang berdiri di setiap kota di dunia Timur? Maukah kita pergi ke Louvre dan berdiri menatap lukisan-lukisan Raphael, da Vinci dan Carot, dan menulis tentang Keindahan dan Cinta serta pengaruhnya terhadap hati nurani manusia?
Saudara, aku merasakan lapar yang pedih dalam hatiku jika aku berbicara tentang karya-karya seni yang besar itu: aku pun sangat rindu akan ucapan-ucapan yang abadi; tetapi lapar dan kerinduan ini muncul dari suatu tenaga perkasa yang ada dalam lubuk hatiku - suatu tenaga yang ingin segera menyatakan dirinya tapi tak mau melakukannya karena waktunya belum tiba, dan orang-orang yang mati pada hari-kelahirannya masih berjalan jalan dan berdiri sebagai sebatang kayu palang pada jalan kehidupan.
Sebagaimana engkau tahu, kesehatanku ibarat sebuah biola di tangan seorang yang tak pandai memainkannya, sehingga hanyalah melodi yang sumbang yang dapat diperdengarkannya. Perasaanku bagaikan samudra dengan segala pasang-surutnya: jiwaku laksana seekor burung puyuh dengan sayap yang patah. la sangat menderita apabila melihat kawanan burung melayang-layang di angkasa, karena ia menyadari dirinya tak mampu berbuat seperti itu. Tetapi, seperti juga semua burung lain, ia pun menikmati keheningan sang Malam, datangnya sang Fajar, cahaya sang Matahari dan indahnya lembah-ngarai. Aku melukis dan menulis sekarang, juga nanti, dan di tengah melukis dan menulis, aku bagaikan sebuah perahu kecil yang berlayar di antara samudra tak berdasar dan langit yang tak berufuk - impian-impian yang asing, hasrat-hasrat yang agung, harapan-harapan besar, pikiran-pikiran yang terbanting dan perlu diperbaiki: dan di antara segalanya ini adalah sesuatu yang disebut oleh orang-orang sebagai Putus Harapan, dan aku menyebutnya Neraka.
Gibran
Wednesday, July 7, 2010
Surat Kahlil Gibran kepada Jamil Malouf
Wednesday, July 07, 2010 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment