Tuesday, May 20, 2014

Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra


Tasbih, Sebuah Prolog
Riki Dhamparan Putra

Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat
seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti
gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit
yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan
kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti
huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?
Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang
bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup
dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi
gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau
Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada
nggak Kau bagiku?
Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya
rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam
gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika
semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua
bagiku.
Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi
pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member
persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan
pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada
jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji
tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua
keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam
semesta istighfarku.
Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku
berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya
samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,
terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada
akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja
sebagai takdir.
Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?
Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma
lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba
yang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garis
menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.
Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya
ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang
harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah
bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia
memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya
adalah keikhlasan.
Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di
langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu
yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah
pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap
bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.
Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.
Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk
membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu
lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi
pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu
terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya
menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya
yang kudus.
Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua
yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang
Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah
ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha
hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.
Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan
penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang
lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat
jantungku.
Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan
menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahun
selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan
yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama
bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari
ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun
memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.
Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.
Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap
kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan
kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus
mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai
demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah
kebenaran dan keindahanMu.
Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan
juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan
tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,
bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak
setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?
Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.
Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.
Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk
semua buah rindu. Aku inginkan itu, …

2003


Anda sedang membaca kumpulan/contoh/artikel/puisi/sajak/pantun/syair/tentang/tema/bertema/judul/berjudul Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra dan anda bisa menemukan kumpulan/contoh/artikel/puisi/sajak/pantun/syair/tentang/tema/bertema/judul/berjudul Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra ini dengan url http://kumpulankaryapuisi.blogspot.com/2014/05/puisi-tasbih-sebuah-prolog-riki.html,anda juga bisa meng-click kumpulan/contoh/artikel/puisi/sajak/pantun/syair/tentang/tema/bertema/judul/berjudul Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra Tetapi dilarang merubah isi maupun mengganti nama penyair/pengarang nya karena bertentangan dengan HAKI, semoga anda ter-inspirasi dengan karya Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra salam Karya Puisi

0 komentar:

Post a Comment

 

kumpulan karya Puisi | Copyright 2010 - 2016 Kumpulan Karya Puisi |