Tasbih, Sebuah PrologRiki Dhamparan PutraAku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebatseperti bayangan, kadang dingin, kadang haru sepertigerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langityang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkankembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung sepertihuruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yangbermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidupdalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahigurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kauHuruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Adanggak Kau bagiku?Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanyarindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalamgamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketikasemua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semuabagiku.Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadipintu bagi penderitaan baru. Penderitaan memberpersimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan danpencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau padajalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada bijitasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semuakeinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalamsemesta istighfarku.Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutkuberombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnyasamar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak adaakhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipujasebagai takdir.Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelmalorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-labayang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garismenjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanyaingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yangharus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalahbendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Iamemerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanyaadalah keikhlasan.Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar dilangit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batuyang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalahpintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyapbersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untukmembersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayulahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadipepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran ituterputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnyamenggelinding menjadi gelembung gelembung cahayayang kudus.Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semuayang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sangBudha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalahruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang mahahidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.Kemudian aku menunggang kendaraan itu denganpenyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentanglonceng yang mendengung jauh di ubun dan uratjantungku.Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas danmenjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahunselimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapanyang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selamabertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dariketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapunmemuntahkan aku ke sebuah pantai senja.Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiapkejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dankuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terusmengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelaidemi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arahkebenaran dan keindahanMu.Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Danjuga terlalu panjang untuk kembali digulung dengantanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetaksetiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuksemua buah rindu. Aku inginkan itu, …2003
Tuesday, May 20, 2014
Puisi Tasbih, Sebuah Prolog | Riki Dhamparan Putra
Tuesday, May 20, 2014 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment