Syiwa-NatarajaKepada R. SoeratmakaSanusi PanePada perjalananku melalui Langka purbakala,Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyalaDi dalam hati, di bumi India yang mulia,Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam duniaTinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihatDi Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,Dan mataku termenung memandang Pataliputra,Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandangKuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,Aku bermimpi mengenang cinta.O, jiwa IndiaKupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hatiTanah Hindustan.Aku terkenang akan Nataraja,Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahayaDi Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menariDalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadiBelum pernah aku dapat, biarpun aku sudahMemandang hampir segala yang indah, yang belum punahOleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercayaDari abad kemegahan, abad yang kaya raya.Di Indonesia, tanah airku,Natesa berdiriDi atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiriMemegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tanganDan kaki, wajah muka amat permainya: angan-anganKeindahan.Genta candi, merdu, bersahut-sahutanDan aku merasa sebagai berada dalam lautanKedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperiBerapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyiGendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyiDari memenuhi seantero dunia, Alam yang muramMelayang ke dalam hati teratai api dan suramDiganti sinar caya yang terang benderang dan alamKembali beredar dalam dunia, menari dalamPesta cahaya dan suara.Tiap alam berhatiSendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai apiYang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilangMasuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberiDari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barangSudah ada, ada dan akan ada dalam sebentarItu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyalaMembakar segala ikatan buta yang dikarangnya.Dibikinnya sendiri. Api memusnakan kebatannya.Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbangSebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa NatarajaIa sendiri, bahwa dunia semata tidak adaDi luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”Seorang orang duduk termenung seorang diri,Matanya muram, seperti dukacita dunia iniSekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayatHatiku, membakar jiwaku, membuat ‘ku teringatAkan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mataYang demikian rupanya itu di alam jasmani,Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati,Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero duniaTercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saatIa berdiri dari kalbu hati dunia, segala alamSegala matahari, bulan dan bintang ada dalamdirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candiKe candi, dari negeri ke negeri, mencariKelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelahOleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernahBisa diobati,barang suatu, ketahuilah,Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah.Tari segala alam, masukilah Api bernyala,Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja.”
Sunday, March 2, 2014
Puisi Syiwa-Nataraja | Sanusi Pane
Sunday, March 02, 2014 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment