JAVID NAMAH KITAB KEABADIAN - IQBAL
Pengantar
ADA tiga buah karya Iqbal dalam bentuk puisi yang dipandang sebagai karyanya yang terpenting, karena di dalamnya ia memberikan bentuk pengucapan artistik pada gagasan-gagasan filsafatnya yang luhur. Yang pertama, Asrar-i Khudi, terbit pada 1915. R.A. Nicholson membuat versi prosa atas karya ini dalam bahasa Inggris, berjudul The Secrets of the Self (Macmillan, 1920). Yang kedua, Rumuz-i Bekhudi, terbit pada 1918. Terjemahan pertama dalam bahasa Inggris atas karya ini, berbentuk puisi tak bersajak (blank-verse), dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, The Mysteries of Selflessness (John Murray, 1953).
Seperti ditunjukkan oleh judulnya, tema pokok dari kedua karya itu ialah the Self (diri atau pribadi manusia), human ego, dalam hubungannya dengan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dan kedudukan masyarakat Islam di dunia seutuhnya. Seperti juga sekalian orang Islam yang sensitif di India dan wilayah-wilayah lainnya, Iqbal amat sedih melihat perbedaan yang menyolok antara Islam di zaman kejayaannya dengan Islam di zaman modern, ketika sebagian besar negeri Islam telah jatuh ke dalam status daerah jajahan. la melihat satu-satunya harapan untuk membalikkan proses kemerosotan ini terletak pada regenerasi setiap pribadi umat Islam dan kerja sama antara pribadi-pribadi yang telah bangkit kembali dalam suatu Masyarakat Mukmin yang bersatu. Pembeberan filosofis yang lebih lanjut tentang ajaran Iqbal yang berhubungan dengan the Self ini, dalam bentuknya yang paling matang, dapat dibaca dalam kumpulan ceramahnya yang diberi judul, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford University Press, 1934), terutama bab I[V "The Human Ego: his freedom and immortality".
Baik Asrar-i Khudi maupun Rumuz-i Bekhudi (yang ditulis dalam bahasa Parsi) disusun dalam bait-bait yang bersajak, mengikuti tradisi yang sudah amat lama dalam puisi didaktik Persia sejak kira-kira seribu tahun yang lampau. Matra yang dipilih Iqbal untuk kedua karyanya itu ialah ramal-i musaddas-i maqsur, sama dengan yang dipergunakan oleh penyair sufi Persia terbesar, Jalal-ud-Din Rumi (1207-1273) dalam karyanya yang terkenal, Masnawi. Satu hal yang patut mendapat perhatian dalam kelaziman bentuk puisi didaktik ini ialah bahwa untuk meringankan bobot pembeberan formal dalam karyanya, sang penyair sesekali memasukkan anekdot-anekdot yang ilustratif sifatnya. Iqbal pun menyesuaikan diri dengan kelaziman ini.
Namun karya ketiga di antara trilogi itu, Javid-namah, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di sini, amat menyimpang dari pola demikian. Javid-namah dimaksudkan sebagai sajak cerita (narrative poems) atau lebih tepat lagi drama bersajak (poetic drama), di mana amanat didaktiknya dituangkan dalam ucapan para pelakunya. Selain itu, sesuatu yang baru pula dalam karya ini ialah adanya penyisipan lirik-lirik dengan beragam matra dan dengan sajak tunggal (monorhyme) yang merupakan ciri khas ghazal Persia, dan dapat menimbulkan efek makin bertambah besarnya tegangan puitik keseluruhan lirik itu.
Javid-namah menggambarkan perlawatan rohani yang dilakukan sang penyair dari bumi lewat "daerah-daerah" Bulan, Mercurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus, hingga di luar segala "daerah" itu, dan di Hadirat Ilahi. Teladan uniuk itu, dalam Islam, dapat kita temukan dalam mi'raj Nabi Muhammad yang terkenal itu. Dalam mi'raj itu, dengan berkendaraan buraqsemacam kuda bersayap-dan ditemani )ibril sebagai penunjuk jalan, Nabi Muhammad menyinggahi ketujuh langit dan di sana bertemu dan bercakap-cakap dengan nabi-nabi yang terdahulu, mulai dari Adam di langit pertama hingga Ibrahim di langit ketujuh, sebelum menikmati kebahagiaan tertinggi, yakni percakapan dengan Tuhan. Mi'raj Nabi niscaya menjadi pokok renungan dan teladan untuk mengembangkan martabat kerohanian bagi setiap orang Islam yang saleh dan kaum sufi sepanjang abad-abad berikutnya. Demikianlah Iqbal pun tak kekurangan contoh dan teladan ketika ia mempergunakan wahana yang amat populer itu untuk mengungkapkan ajarannya tentang regenerasi umat Islam dan penginsafan kepribadian mereka dalam karya terakhir di antara triloginya itu. Sebagai penunjuk jalan dalam perlawatan itu dipilihnya Jalal-ud-Din Rumi, penyair sufi Persia yang amat ia kagumi bahasa, gaya bahasa dan pikiran-pikirannya. Sedang tokoh-tokoh yang ia jumpai dalam perlawatan itu tidak terambil dari para nabi menurut urutan zaman dan martabatnya, melainkan dari mereka yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah Islam, terutama dalam periode-periode yang kemudian.
javid-namah yang ditulis Iqbal dalam bahasa Parsi seperti dua karyanya yang terdahulu di antara triloginya itu, terbit pada 1932. S.A. Vahid menilai karya itu sebagai "magnum opus" Iqbal. Ada pula yang menilainya setingkat dengan Shah Namah karya Firdausi, Masnawi karya Rumi, Gulistan karya Sa'di dan Diwan karya Hafiz. Karya Iqbal ini telah sering diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Terjemahan yang pertama ialah dalam bahasa Itali oleh Prof. Alessandro Busani dengan judul, II Poema Celeste (Roma,1952). Ada juga sebuah versi sajak dalam bahasa Jerman yang ditulis oleh Prof. Annemarie Schimel dengan judul, Buch der Ewigkeit (Munich, 1957). Di samping itu, terdapat pula sebuah versi dalam bahasa Prancis yang dikerjakan oleh E. Meyerovitch dan Mohammed Mokri dengan judul, Le Livre de l'Eternite (Paris, 1962). Sementara sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris terbit di Lahore pada tahun 1961 oleh Shaikh Mahmud Ahmad dengan judul, The Pilgrimage of Eternity. Demikianlah karya itu telah mencapai kalangan pembaca internasional, dan telah menduduki tempat yang layak di antara karyakarya klasik modern dalam sastera dunia.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang disajikan di sini dikerjakan berdasarkan teks terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, Javid-narna, dan diterbitkan pertama kali pada 1966 oleh George Allen & Unwin Ltd, London. Arberry menerjemahkannya dari bahasa aslinya, Parsi, dan mengusahakannya untuk berpegang sedekat mungkin pada arti aslinya. Bagian-bagian yang tak segera dapat dipahami disebabkan oleh referensi-referensi yang sulit dijangkau dan lainlain dapat dijelaskan dalam catatan singkat yang terdapat pada halaman-halaman terakhir buku itu. Dalam teks Parsi dibubuhkan "Ucapan pada Javid", putera sang penyair yang namanya dipergunakan untuk judul karyanya itu. A.J. Arberry meniadakan bagian ini, karena bukan bagian dari keseluruhan karya itu, dan karena penerjemah-penerjemah lain yang terdahulu pun menghilangkan bagian itu pula.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia diusahakan sedekat mungkin dengan maksud yang terkandung dalam teks Inggris dari Arberry. Catatan yang diberikan pada halaman-halaman terakhir teks lnggris itu diberikan sebagai catatan kaki pada setiap halaman yang memerlukannya dalam terjemahan Indonesia ini, dengan maksud agar dapat dipergunakan lebih langsung.
Hartojo Andangdjaja
ISI BUKU
Pengantar
ADA tiga buah karya Iqbal dalam bentuk puisi yang dipandang sebagai karyanya yang terpenting, karena di dalamnya ia memberikan bentuk pengucapan artistik pada gagasan-gagasan filsafatnya yang luhur. Yang pertama, Asrar-i Khudi, terbit pada 1915. R.A. Nicholson membuat versi prosa atas karya ini dalam bahasa Inggris, berjudul The Secrets of the Self (Macmillan, 1920). Yang kedua, Rumuz-i Bekhudi, terbit pada 1918. Terjemahan pertama dalam bahasa Inggris atas karya ini, berbentuk puisi tak bersajak (blank-verse), dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, The Mysteries of Selflessness (John Murray, 1953).
Seperti ditunjukkan oleh judulnya, tema pokok dari kedua karya itu ialah the Self (diri atau pribadi manusia), human ego, dalam hubungannya dengan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dan kedudukan masyarakat Islam di dunia seutuhnya. Seperti juga sekalian orang Islam yang sensitif di India dan wilayah-wilayah lainnya, Iqbal amat sedih melihat perbedaan yang menyolok antara Islam di zaman kejayaannya dengan Islam di zaman modern, ketika sebagian besar negeri Islam telah jatuh ke dalam status daerah jajahan. la melihat satu-satunya harapan untuk membalikkan proses kemerosotan ini terletak pada regenerasi setiap pribadi umat Islam dan kerja sama antara pribadi-pribadi yang telah bangkit kembali dalam suatu Masyarakat Mukmin yang bersatu. Pembeberan filosofis yang lebih lanjut tentang ajaran Iqbal yang berhubungan dengan the Self ini, dalam bentuknya yang paling matang, dapat dibaca dalam kumpulan ceramahnya yang diberi judul, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford University Press, 1934), terutama bab I[V "The Human Ego: his freedom and immortality".
Baik Asrar-i Khudi maupun Rumuz-i Bekhudi (yang ditulis dalam bahasa Parsi) disusun dalam bait-bait yang bersajak, mengikuti tradisi yang sudah amat lama dalam puisi didaktik Persia sejak kira-kira seribu tahun yang lampau. Matra yang dipilih Iqbal untuk kedua karyanya itu ialah ramal-i musaddas-i maqsur, sama dengan yang dipergunakan oleh penyair sufi Persia terbesar, Jalal-ud-Din Rumi (1207-1273) dalam karyanya yang terkenal, Masnawi. Satu hal yang patut mendapat perhatian dalam kelaziman bentuk puisi didaktik ini ialah bahwa untuk meringankan bobot pembeberan formal dalam karyanya, sang penyair sesekali memasukkan anekdot-anekdot yang ilustratif sifatnya. Iqbal pun menyesuaikan diri dengan kelaziman ini.
Namun karya ketiga di antara trilogi itu, Javid-namah, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di sini, amat menyimpang dari pola demikian. Javid-namah dimaksudkan sebagai sajak cerita (narrative poems) atau lebih tepat lagi drama bersajak (poetic drama), di mana amanat didaktiknya dituangkan dalam ucapan para pelakunya. Selain itu, sesuatu yang baru pula dalam karya ini ialah adanya penyisipan lirik-lirik dengan beragam matra dan dengan sajak tunggal (monorhyme) yang merupakan ciri khas ghazal Persia, dan dapat menimbulkan efek makin bertambah besarnya tegangan puitik keseluruhan lirik itu.
Javid-namah menggambarkan perlawatan rohani yang dilakukan sang penyair dari bumi lewat "daerah-daerah" Bulan, Mercurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus, hingga di luar segala "daerah" itu, dan di Hadirat Ilahi. Teladan uniuk itu, dalam Islam, dapat kita temukan dalam mi'raj Nabi Muhammad yang terkenal itu. Dalam mi'raj itu, dengan berkendaraan buraqsemacam kuda bersayap-dan ditemani )ibril sebagai penunjuk jalan, Nabi Muhammad menyinggahi ketujuh langit dan di sana bertemu dan bercakap-cakap dengan nabi-nabi yang terdahulu, mulai dari Adam di langit pertama hingga Ibrahim di langit ketujuh, sebelum menikmati kebahagiaan tertinggi, yakni percakapan dengan Tuhan. Mi'raj Nabi niscaya menjadi pokok renungan dan teladan untuk mengembangkan martabat kerohanian bagi setiap orang Islam yang saleh dan kaum sufi sepanjang abad-abad berikutnya. Demikianlah Iqbal pun tak kekurangan contoh dan teladan ketika ia mempergunakan wahana yang amat populer itu untuk mengungkapkan ajarannya tentang regenerasi umat Islam dan penginsafan kepribadian mereka dalam karya terakhir di antara triloginya itu. Sebagai penunjuk jalan dalam perlawatan itu dipilihnya Jalal-ud-Din Rumi, penyair sufi Persia yang amat ia kagumi bahasa, gaya bahasa dan pikiran-pikirannya. Sedang tokoh-tokoh yang ia jumpai dalam perlawatan itu tidak terambil dari para nabi menurut urutan zaman dan martabatnya, melainkan dari mereka yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah Islam, terutama dalam periode-periode yang kemudian.
javid-namah yang ditulis Iqbal dalam bahasa Parsi seperti dua karyanya yang terdahulu di antara triloginya itu, terbit pada 1932. S.A. Vahid menilai karya itu sebagai "magnum opus" Iqbal. Ada pula yang menilainya setingkat dengan Shah Namah karya Firdausi, Masnawi karya Rumi, Gulistan karya Sa'di dan Diwan karya Hafiz. Karya Iqbal ini telah sering diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Terjemahan yang pertama ialah dalam bahasa Itali oleh Prof. Alessandro Busani dengan judul, II Poema Celeste (Roma,1952). Ada juga sebuah versi sajak dalam bahasa Jerman yang ditulis oleh Prof. Annemarie Schimel dengan judul, Buch der Ewigkeit (Munich, 1957). Di samping itu, terdapat pula sebuah versi dalam bahasa Prancis yang dikerjakan oleh E. Meyerovitch dan Mohammed Mokri dengan judul, Le Livre de l'Eternite (Paris, 1962). Sementara sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris terbit di Lahore pada tahun 1961 oleh Shaikh Mahmud Ahmad dengan judul, The Pilgrimage of Eternity. Demikianlah karya itu telah mencapai kalangan pembaca internasional, dan telah menduduki tempat yang layak di antara karyakarya klasik modern dalam sastera dunia.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang disajikan di sini dikerjakan berdasarkan teks terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, Javid-narna, dan diterbitkan pertama kali pada 1966 oleh George Allen & Unwin Ltd, London. Arberry menerjemahkannya dari bahasa aslinya, Parsi, dan mengusahakannya untuk berpegang sedekat mungkin pada arti aslinya. Bagian-bagian yang tak segera dapat dipahami disebabkan oleh referensi-referensi yang sulit dijangkau dan lainlain dapat dijelaskan dalam catatan singkat yang terdapat pada halaman-halaman terakhir buku itu. Dalam teks Parsi dibubuhkan "Ucapan pada Javid", putera sang penyair yang namanya dipergunakan untuk judul karyanya itu. A.J. Arberry meniadakan bagian ini, karena bukan bagian dari keseluruhan karya itu, dan karena penerjemah-penerjemah lain yang terdahulu pun menghilangkan bagian itu pula.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia diusahakan sedekat mungkin dengan maksud yang terkandung dalam teks Inggris dari Arberry. Catatan yang diberikan pada halaman-halaman terakhir teks lnggris itu diberikan sebagai catatan kaki pada setiap halaman yang memerlukannya dalam terjemahan Indonesia ini, dengan maksud agar dapat dipergunakan lebih langsung.
Hartojo Andangdjaja
ISI BUKU
- Doa
- Prelude Di Langit
- Prelude Di Bumi
- Daerah Bulan
- Daerah Mercurius
- Daerah Venus
- Daerah Mars
- daerah Jupiter
- Daerah Saturnus
- Di Luar Segala Daerah
- Lampiran : Perjalanan Hidup Allamah Iqbal
0 komentar:
Post a Comment