Untuk Frida KahloGoenawan MohamadFrida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yangdiam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiadaharap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaanlagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalamdawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalahlelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda RumahBiru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhanyang mereka ingkari dan kedatangan TrotskyMereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’Tapi di alis itu …di alismu langit berkabungdengan jerit hitamdua burungdi ragamu tiang patahdi kamar narkose, ampul tertebar:sisa sakit dan sejarahtapi kijang yang tak menjerit di hutanpada luka lembing penghabisanadalah seorang perempuanuluhati yang tercerabuttapi terbang, menjemput Mautadalah seorang perempuanKemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akanpulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telahberangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dankertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semuaberkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera, telahberusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Duniasudah tak seperti dulu.”Bukan apa-apa …tapi di matamu kaulihatpiramid-piramid sakitmencari air kaktuspada pucat langitLalu kaulukiskan airmatamu,seperti mutiara danputih cukadi tembikar kulitmuDi atasnya para santodan wajah Diego: praba dan cahayayang membakar kekalmimpi MeksikoDi ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Fridamenghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan – yangtelah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – takada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka darikertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putihyang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan, diManhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan rautcemerlang, bunuh diri).Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelumorang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yangdatang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kauadalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum dipercakapan dan ranum pisang dalam sajikan makan malam.Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramaramayang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang taktahu telah berubah lazuardi.“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yangsementara?”Benar, begitulah ia pernah bertanya.1993-1994
Wednesday, February 5, 2014
Puisi Untuk Frida Kahlo | Goenawan Mohamad
Wednesday, February 05, 2014 Diposting oleh kumpulankaryapuisi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment